Kamis, 13 Maret 2025

BIMBINGAN DAN KONSULTASI LAPORAN KEUANGAN BUMDES - BUMDESMA

 



    
    
    Sebagian pengurus Bumdes Bumdesma mengalami kesulitan dalam menyusun laporan keuangan sesuai standar yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia (Kepmendes PDTT) Nomor 136 Tahun 2022. Untuk membantu kesulitan penyusunan laporan keuangan tersebut silakan hubungi:

Wiryo Caram  (e-mail: wiryocaram@gmail.com)






Jumat, 07 Maret 2025

KISAH RASUAH YANG BIKIN RESAH

 

Sumber ilustrasi: https://antikorupsi.org/

    Sepanjang perjalanan terlibat pendampingan desa dalam Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) yang dikelola oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), dalam kurun waktu hampir satu dekade dimulai dari tahun 2016 hingga sekarang (2025) di tujuh kabupaten berbeda, selalu muncul kisah rasuah berupa suap menyuap maupun modus korupsi lainnya. Munculnya kasus-kasus rasuah yang melibatkan Kepala Desa, Perangkat Desa, penyedia barang dan jasa, dan pihak-pihak lain dalam pengelolaan keuangan desa tentu sangat meresahkan, mengingat dana yang masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.

    Kasus dugaan korupsi dana desa yang cukup menghebohkan terjadi di salah satu desa di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat beberapa tahun yang lalu, dengan angka rupiah yang diduga dikorupsi mencapai Rp 1,5 miliar lebih. Modus yang digunakan yakni membuat laporan pertanggungjawaban fiktif selama dua tahun anggaran berturut-turut. Mirisnya uang hasil korupsi tersebut, berdasarkan keterangan jaksa, digunakan untuk biaya foya-foya, mulai dari karaoke hingga membeli mobil pribadi.

    Kisah rasuah lain terjadi di salah satu desa di Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat. Modus yang digunakan hampir sama yakni pertanggungjawaban fiktif. Pada kasus ini kerugian negara mencapai Rp 260 juta lebih. Yang unik dari kasus ini yakni Kepala Desa melibatkan adiknya yang menjabat sebagai Kepala Urusan Tata Usaha (Kaur TU) dalam menjalankan aksinya.

    Kisah-kisah rasuah dana yang dikelola desa seperti di atas sangat banyak terjadi. Kasus-kasus ini bukan hanya terjadi di desa-desa di Kalimantan Barat, tapi terjadi juga di banyak tempat di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW menyampaikan bahwa sejak pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat. Pada 2016, jumlah kasus korupsi di desa sebanyak 17 kasus dengan 22 tersangka. Enam tahun kemudian, yakni pada 2022, jumlah kasusnya melonjak drastis 155 kasus dengan 252 tersangka.

    Catatan buruk kasus korupsi di desa menempatkan sektor desa pada posisi paling atas banyaknya kasus dan jumlah tersangka dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Sektor-sektor lain yang posisinya di bawah sektor desa berturut-turut yakni: utilitas (88 kasus), pemerintahan (54 kasus), pendidikan (40 kasus), sumber daya alam (35 kasus), perbankan (35 kasus), agraria (31 kasus), dan kesehatan (27 kasus).

    Jumlah kasus korupsi di desa sebanyak 155 kasus tersebut setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. Secara rinci ICW melaporkan bahwa ada 133 kasus korupsi berhubungan dengan dana desa, sementara 22 kasus korupsi lainnya berkaitan dengan penerimaan desa.

    Berbagai Modus Korupsi pada Pengelolaan Keuangan Desa

    Mengamati apa yang terjadi pada kasus-kasus korupsi terhadap dana yang dikelola oleh desa, terdapat bermacam-macam modus yang digunakan oleh para pelaku korupsi. Cara-cara yang digunakan untuk mengkorup dana yang dikelola desa antara lain:

a. Kegiatan Fiktif

    Modus kegiatan fiktif ini sering ditemui baik untuk kegiatan fisik (sarana prasarana) maupun kegiatan non-fisik. Untuk kegiatan fisik, cara ini dilakukan dengan melaporkan kegiatan fisik seperti jalan, jembatan, atau bangunan lainnya seolah sudah dilaksanakan tapi setelah dicek ke lapangan ternyata kegiatan fisik atau bangunan tidak ditemukan. Cara seperti ini memang termasuk sangat “berani” dan “kasar” karena kemungkinan untuk ditemukan pada saat pemeriksaan sangat besar.

    Untuk kegiatan non-fisik biasanya digunakan pada kegiatan peningkatan kapasitas (pelatihan) dan musyawarah (pertemuan/rapat). Pada kegiatan pelatihan dan musyawarah, anggaran yang cukup besar disiapkan dalam APB Desa antara lain untuk konsumsi, honor narasumber, dan transport peserta pelatihan atau pertemuan. Kegiatan pelatihan dan pertemuan yang masuk dalam APB Desa seolah-oleh dilaksanakan namun sebenarnya tidak dilaksanakan.

b. Penggelembungan Volume Kegiatan

    Modus lain yang biasanya ditemukan di lapangan yakni menggelembungkan volume kegiatan. Penggelembungan volume kegiatan bisa terjadi pada kegiatan fisik (sarana prasarana) maupun kegiatan non-fisik. Pada kegiatan fisik sering ditemukan ketidaksinkronan antara volume di lapangan dengan laporan capaian kegiatan fisik. Contoh pada kasus ini misalnya pekerjaan jalan rabat beton dikerjakan hanya 1.300 meter tapi yang dilaporkan 1.500 meter.

    Pada kegiatan non-fisik modus penggelembungan volume kegiatan misalnya terjadi pada kegiatan musyawarah desa. Musyawarah desa misalnya hanya dilakukan dua kali tapi yang dilaporkan bisa lebih dari dua kali. Selain pada kegiatan musyawarah desa, modus ini juga pada kegiatan non-fisik lain seperti kegiatan pelatihan maupun kegiatan pertemuan lainnya.

c. Penggelembungan Harga (Markup)

    Penggelembungan harga (markup) merupakan modus yang sering dilakukan oleh pelaku korupsi di desa terutama terkait dengan pengadaan barang/jasa. Harga barang/jasa sengaja digelembungkan sehingga harga yang dibayar oleh desa di atas harga yang wajar. 

    Modus ini biasanya dilakukan mulai dari tahapan perencanaan keuangan desa atau penganggaran. Pada saat penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) harga-harga barang/jasa yang dimasukkan dalam APB Desa sudah digelembungkan terlebih dahulu, melebihi harga yang wajar.

    Di tahapan berikutnya yakni pelaksanaan pengadaan barang/jasa, pelaku korupsi biasanya tidak mengikuti atau menghindari mekanisme pengadaan barang/jasa yang diatur regulasi. Secara nasional regulasi yang mengatur pengadaan barang/jasa di desa yakni Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan Pengadaan Barang/Jasa di Desa. Dengan tidak mengikuti mekanisme pangadaan barang/jasa di desa maka persaingan (kompetisi) harga tidak terjadi. Biasanya penyedia barang/jasa ditunjuk langsung oleh Kepala Desa, Kepala Seksi (Kasi), atau Kepala Urusan (Kaur) yang menjadi Pelaksana Kegiatan Anggaran (PKA).

d. Pemotongan Bantuan Langsung Tunai

    Adanya kebijakan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19 dengan memberikan prioritas penggunaan Dana Desa (DD) di antaranya untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat di desa yang terdampak bencana Covid-19, ternyata dimanfaatkan oleh sebagian oknum Aparatur Desa untuk kepentingan pribadi dengan modus memotong (menyunat) bantuan. Dana BLT yang seharusnya diterima Keluarga Penerima Manfaat (KPM) sesuai dengan yang dianggarkan pada APB Desa, pada saat penyerahan bantuan kepada KPM ternyata dipotong  oknum Aparatur Desa dengan berbagai macam alasan yang tidak dibenarkan.

    Selain pemotongan dana BLT yang dilakukan pada tiap penyaluran, modus lain dalam mengkorup dana BLT juga dilakukan dengan memanipulasi data penerima KPM. Beberapa kasus yang ditemui menunjukkan adanya penggelembungan jumlah KPM. Data jumlah KPM yang terdaftar dalam list penerima BLT melebihi jumlah riil KPM yang menerima bantuan.

e. Penyelewengan Dana Penyertaan Modal BUM Desa

    Upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di desa dengan mendorong pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) di setiap desa ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu faktor yang menyebabkan BUM Desa tidak berkembang atau bahkan mengalami kerugian dan bangkrut yakni adanya ulah oknum Aparatur Desa dan atau Pengurus BUM Desa yang tidak amanah dalam menjalankan pengelolaan BUM Desa.

    Kekacauan pengelolaan BUM Desa dalam banyak kasus berawal dari penyertaan modal kepada BUM Desa yang tidak sesuai dengan mekanisme dan prosedur. Modus penyelewengan dana penyertaan modal BUM Desa oleh oknum Aparatur Desa biasanya dilakukan dengan cara dana yang sudah masuk di BUM Desa diambil sebagian dengan alasan pinjam atau alasan lain. Pengurus BUM Desa yang merasa berada dalam posisi di bawah Pemerintah Desa tidak kuasa untuk menolak pinjaman dari oknum Aparatur Desa sehingga melepaskan sebagian modal BUM Desa tanpa dokumen apapun.

    Selain oleh oknum Aparatur Desa, beberapa kasus juga terjadi modal BUM Desa diselewengkan oleh oknum Pengurus BUM Desa. Modus yang dilakukan dengan cara dana BUM Desa ditarik dari rekening kemudian dibelanjakan untuk kepentingan pribadi. Tidak jarang ditemui laporan keuangan BUM Desa tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan sebagian BUM Desa juga didapati tidak membuat laporan keuangan.

    Pencegahan Korupsi pada Pengelolaan Keuangan Desa

    Berbagai macam modus penyelewengan dana yang dikelola oleh Pemerintah Desa memberikan gambaran bahwa dana APB Desa sangat rentan dikorupsi. Perlu upaya yang sungguh-sungguh dan terpadu antar pemangku kepentingan (stakeholder) dalam mengatasi masalah penyimpangan dana yang dikelola oleh desa ini sehingga di masa-masa yang akan datang kasus-kasus korupsi di desa bisa dikurangi atau bahkan ditiadakan.  Upaya pencegahan korupsi di desa antara lain bisa ditempuh dengan cara:

a. Optimalisasi Peran BPD

    Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa berfungsi dan diberikan tugas antara lain untuk melaksanakan pengawasan kinerja Kepala Desa. Pengawasan oleh BPD terhadap kinerja Kepala Desa mulai dari tahapan perencanaan kegiatan Pemerintah Desa, pelaksanaan kegiatan hingga pelaporan penyelenggaraan Pemerintah Desa. Bentuk pengawasan BPD terhadap kinerja Kepala Desa berupa monitoring dan evaluasi.

    Dalam menjalankan peran monitoring dan evaluasi (monev) BPD dapat meminta keterangan kepada Kepala Desa termasuk dalam hal pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan pemerintahan yang kurang transparan dan tidak akuntabel. Transparansi dan akuntabilitas pengolaan keuangan desa merupakan keniscayaan yang harus diaksanakan oleh Pemerintah Desa. BPD sangat diharapkan perannya untuk mendorong Pemerintah Desa agar mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel sehingga diharapkan mengurangi peluang terjadinya korupsi terhadap keuangan desa.

    Detail langkah kerja pengawasan keuangan desa oleh BPD dijelaskan dalam lampiran Permendagri Nomor 73 Tahun 2020 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa.

b. Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Keuangan Desa

    Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pengelolaan keuangan desa diperlukan sebagai bagian dari pengendalian terhadap Pemerintah Desa. Dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan keuangan desa masyarakat berhak meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa.

    Informasi yang dapat diperoleh masyarakat dari Pemerintah Desa  berupa: APB Desa, Pelaksana Kegiatan Anggaran (PKA) dan tim yang melaksanakan kegiatan, realisasi APB Desa, realisasi kegiatan, kegiatan yang belum selesai dan/atau tidak terlaksana, dan sisa anggaran. Dengan mendapatkan informasi tentang pengelolaan keuangan desa diharapkan masyarakat bisa lebih memahami proses pengelolaan keuangan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pelaporan. Dengan informasi yang dimiliki, masyarakat juga dapat memberikan masukan atau menanyakan hal yang belum jelas kepada Pemerintah Desa melalui BPD atau menyampaikan langsung dalam forum musyawarah desa.

c. Pembinaan Pengelolaan Keuangan Desa oleh APIP Kabupaten

    Sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) peran lembaga ini sangat diharapkan dalam pencegahan terjadinya rasuah di lingkungan Pemerintah Desa. Mandat regulasi, khususnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa, memberikan kewenangan kepada APIP dalam pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa dengan lingkup yang cukup besar. Pengawasan oleh APIP bisa berupa: reviu, monitoring, evaluasi, pemeriksaan, dan pengawasan lainnya.

    Dengan kewenangan yang dimiliki, APIP menjadi tumpuan harapan dalam pencegahan korupsi pengelolaan keuangan desa, terutama APIP kabupaten. Kewenangan APIP kabupaten untuk melakukan pengujian substantif atas perencanaan keuangan desa (APB Desa) dapat menjadi entry point dalam pencegahan tindak korupsi. Peran penting yang bisa dilakukan antara lain yakni sebelum penyusunan APB Desa, yang secara regulasi dimulai di bulan Oktober, APIP kabupaten dapat bekerja sama dengan Dinas Pemerintahan Desa kabupaten (atau sebutan lain) dan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Kemendes PDTT untuk melakukan sosialisasi tentang penyusunan APB Desa. Harapannya APB Desa yang disusun bisa lebih berkualitas dan memenuhi standar regulasi sehingga dapat mengurangi celah-celah peluang munculnya tindak korupsi. 

d. Penegasan untuk Penerapan Mekanisme Pengadaan Barang/Jasa di Desa

    Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan Pengadaan Barang/Jasa di Desa dan turunannya di daerah berupa Peraturan Bupati (Perbup) sering diabaikan oleh Pemerintah Desa. Mekanisme Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) di desa yang telah diatur dalam Peraturan LKPP dan Perbup faktanya sering ditemui tidak dilakukan dalam proses PBJ.

    Pengabaian terhadap aturan PBJ berdampak pada munculnya indikasi tindak korupsi. Indikasi tersebut misalnya terlihat pada harga-harga barang yang dilaporkan pada realisasi kegiatan sama persis dengan harga rencana yang tercantum dalam RAB. Fakta ini memberikan gambaran bahwa proses persaingan harga dan tahapan negosiasi harga terhadap calon penyedia barang tidak dilakukan.

    Langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi indikasi tindak pidana korupsi pada PBJ di desa yakni dengan penegasan kepada Pemerintah Desa untuk melaksanakan PBJ di desa sesuai regulasi yang ada. Penegasan agar mekanisme PBJ di desa sesuai aturan bisa dilakukan oleh Bupati melalui Surat Edaran (SE) yang ditujukan kepada Kepala Desa (Kades). Sosialisasi SE Bupati tentang penerapan mekanisme PBJ di desa bisa dibantu TPP di wilayah masing-masing. 

    Dengan mengetahui berbagai macam modus rasuah pada pengelolaan keuangan desa dan upaya pencegahannya diharapkan kita dapat mengambil peran untuk bersama-sama mengurangi potensi terjadinya korupsi di desa dan mendorong agar pengelolaan keuangan desa lebih baik. Pengelolaan keuangan desa yang baik pada gilirannya akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan publik kepada Pemerintah Desa. Kepercayaan masyarakat menjadi modal yang sangat penting untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk di dalamnya suasana batin yang nyaman dan tanpa keresahan. @wry


Rabu, 22 Januari 2025

MONEV BUMDES DAN BUMDESMA KABUPATEN LANDAK (Part 2)

 Monev Bumdesma LKD Ngabang

Monev Bumdesma LKD Ngabang

Monev Bumdesma LKD Ngabang

Monev Bumdesma Desmara Mandor-Kayu Ara

Monev Bumdesma Desmara Mandor-Kayu Ara

Monev Bumdesma Desmara Mandor-Kayu Ara

Monev Bumdesma Desmara Mandor-Kayu Ara










Senin, 20 Januari 2025

MONEV BUMDES DAN BUMDESMA KABUPATEN LANDAK (Part 1)

 


Monev Bumdes Tubang Raeng

Monev Bumdes Balai Peluntan

Monev Bumdes Kayu Ara

Monev Bumdes Kayu Ara

Monev Bumdesma LKD Mandor

Monev Bumdesma LKD Mandor

Monev Bumdesma LKD Mempawah Hulu

Monev Bumdesma LKD Mempawah Hulu