Beberapa hari
belakangan ini kerap terdengar informasi terkait desa-desa yang dilaporkan ke
kejaksaan oleh masyarakat desa dengan tuduhan adanya dugaan penyimpangan
pengelolaan keuangan desa. Fenomena ini di satu sisi merupakan hal positif
karena menandai kesadaran warga desa dalam berpartisipasi dalam pembangunan di
desanya, namun di sisi lain laporan dugaan adanya penyimpangan dana ini juga
menimbulkan sedikit “kegemparan” di desa dan kecamatan, bahkan kabupaten.
Dari beberapa informasi
yang dihimpun, desa-desa yang dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH),
khususnya kejaksaan, menunjukan ciri-ciri yang hampir sama. Ciri-ciri tersebut
antara lain:
1.
Tidak transparan dalam pengelolaan keuangan
desa.
Dengan berbagai alasan, beberapa desa
cenderung tertutup (tidak transparan) dalam pengelolaan keuangan desa. Akses
informasi terkait keuangan desa menjadi sulit. Instruksi untuk memasang media
transparansi dianggap angin lalu.
2.
Pengelolaan keuangan desa didominasi oleh
satu orang.
Peran dominan yang dimainkan oleh
satu orang, mulai dari penganggaran hingga pertanggungjawaban keuangan desa,
menjadi ciri yang jamak dilakukan oleh oknum yang berniat untuk tidak amanah dalam
pengelolaan keuangan desa. Pembagian tugas kepada Perangkat Desa lain yang
diamanahkan regulasi tidak dipedulikan. Penggunaan uang negara layaknya seperti
penggunaan uang pribadi yang pada akhirnya tidak mampu dipertanggungjawabkan.
3. Rencana
Anggaran Biaya (RAB) Tidak Logis (Janggal).
RAB yang tidak logis bisa menjadi
entry point adanya temuan yang
berujung pada pelaporan kepada pihak yang berwajib. Contoh RAB yang tidak
logis misalnya Desa X menganggarkan
kegiatan pembukaan badan jalan sepanjang 11.000 meter dengan menggunakan alat
berat bulldozer selama 645 HM dan muncul
juga penggunaan tenaga manual (mandor, tukang & pekerja) total sebanyak
1.914 HOK. Penggunaan tenaga manual sebanyak hampir 2.000 HOK untuk pekerjaan
yang dilaksanakan menggunakan alat berat tentu menjadi pertanyaan besar.
4. Pengadaan
barang/jasa yang tidak sesuai dengan mekanisme yang telah diatur regulasi.
Ketidakpuasan sebagian warga
masyarakat atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dinilai tidak adil dan
menyalahi mekanisme yang diatur oleh regulasi juga sering menjadi jalan untuk
dilaporkannya oknum Perangkat Desa kepada pihak yang berwajib. Regulasi terbaru
yang mengatur pengadaan barang/jasa di desa yakni Peraturan Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pedoman
Penyusunan Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa. Regulasi ini memerlukan Peraturan
Bupati di daerah masing-masing untuk implementasinya.@wry
BACA JUGA : Indikasi Penyimpangan Dana Desa
BACA JUGA : Potensi Konflik dalam Pengelolaan Dana Desa
Gambar ilustrasi: https://mimoza.tv/
tapi kebanyakan desa kayak gitu pak..
BalasHapusoh begitu ya... mudah-mudahan dengan pendampingan yang baik desa bergerak ke arah seperti yg diharapkan.
HapusMnta faelnya pak kirim kenomor ini
BalasHapus082150072002